×
Generasi Kolonial Terpapar Penyakit Millenial? : Fenomena Instan dalam Penuntasan PMM

Generasi Kolonial Terpapar Penyakit Millenial? : Fenomena Instan dalam Penuntasan PMM


Oleh: Ratna Juwita

Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Tengah


“Bu Mirah, kenapa kok belum menyelesaikan aksi nyata di PMM?,” tanya saya ke guru paling senior di TK Kuncup Merekah ini. “Aduh, Mbak Ratna, niat sudah ada. Tetapi selesai ngajar tuh badan sudah capek semua. Mata sudah tidak kuat membaca di monitor terlalu lama”, jawab Bu Mirah sambil tersenyum malu.  

Entah hanya alibi atau memang benar adanya, saya selalu menemukan alasan dari guru untuk menuntaskan pembelajaran di platform kebanggaan Mas Meteri ini. Sebagai pegawai di unit pelaksana teknis, yang merupakan kepanjangan tangan Kemendikbud Ristek di Jawa Tengah, selalu berupaya mendukung program ini dengan membantu guru yang belum menuntaskan PMM. 

“Kalau Bu Lina kenapa kok juga belum selesai?”, tanya saya bergantian. “Mbak, saya tuh lagi melanjutkan kuliah, banyak tugas. Jadi sudah capek dan waktu habis kalau setelah ngajar lalu menyelesaikan tugas kuliah. Lagian anak-anak saya tuh masih kecil, Mbak. Aduh, serba repot,” jawab Bu Lina sambil berharap saya memahami kesibukannya.

Fenomena Bu Mirah dan Bu Lina ini terjadi saat pertemuan pertama saya di kegiatan Widyaiswara Berbagi. Saya berusaha berfikiran positif tentang alasan-alasan tersebut untuk membangun komitmen penyelesaian PMM. Saya ajak mereka membuat rencana aksi dan target yang bisa dilakukan 2 minggu ke depan saat pendampingan kedua.


Godaan Media Sosial

“Alhamdulillah, Mbak Ratna, saya sudah submit,” kata Bu Mirah dan Bu Lina. “Wow, luar biasa ibu-ibu,” jawab saya menghargai kerja keras mereka. “Kok bisa selesai?, bagaimana caranya,” lanjut saya penasaran.

“Di Mbah Google ternyata banyak contohnya, Mbak. Tinggal ambil aja kok. Kalau mau bagus, ada yang jual juga,” jawab Bu Lina sambil menyenggol siku Bu Mirah. Gubrak. Serasa ditonjok saya. “Lah saya bingung apa yang harus saya tulis di aksi nyata. Wong kemarin videonya cuma saya seret aja kok. Tidak saya dengarkan,” jawab Bu Lina. “Yang penting centang hijau”, sahut Bu Mirah lirih. 

Ingin rasanya menarik kembali pujian atas kerja keras mereka. Karena mereka menggunakan cara instan dalam menyelesaikan pembelajaran di PMM. Video di-drag, jawaban posttest nyontek di youtube, dan aksi nyata yang dibeli itu menunjukkan bahwa ternyata sebagaian besar guru sudah terjangkit penyakit instan yang beorientasi pada hasil dan tidak menikmati proses. Biasanya penyakit ini hanya ditemui pada kalangan milenial saja, namun akhir-akhir ini sudah menjakiti kalangan senior.


Penyakit Ini Warisan Siapa?

Kalau dibilang penyakit instan adalah warisan nenek moyang kita, sepertinya harus ditinjau ulang. Karena nenek moyang kita adalah petani. Petani terkenal sabar dan ulet dalam merawat tanamannya. Mulai dari menyemai benih, merawat tanaman, membasmi hama, sampai memanen. Semua ada proses dan tahapan yang dilalui dan tidak bisa dilewatkan. 

Lalu siapa yang menyebarkan penyakit ini?. Sehingga semua kalangan dari generasi millennial sampai kolonial mengalami sakit instan.

Kalau penyebabnya adalah teori sosial  tentang modernitas, apakah kita perlu menengok para pemikir sosiologi seperti Marx, Weber, Durkheim, atau Simmel?. Teori Modernitas menyatakan bahwa kondisi modern adalah dimana segala sesuatu menekankan pada efisiensi, kecepatan, rasionalitas formal, praktis, cepat, instan, terstandar, serba uang, keterasingan pengalaman dan akhirnya yang irasional terbalut rasionalitas. Padahal dibalik kemudahan, kecepatan, fasilitas, kenyamanan, dan kenikmatan yang ditawarkan, berimplikasi pada beberapa persoalan yang mengancam sosialitas dan eksistensi humanitas manusia. 

Teori modernitas telah mendorong orang mengejar hasil secara cepat. Teori ini juga mengajarkan orang melewati tahapan-tahapan sistematis yang seharusnya dilewati. Termasuk juga para guru yang saat ini dituntut menuntaskan pembelajaran di PMM.


Tekanan Beberapa Pihak Pemerintah Memperparah Penyakit Instan?

Selain isi modernitas, tekanan pemerintah yang terkesan kejar tayang juga memperburuh kondisi ini. Ada pertemuan-pertemuan rutin yang intinya menyampaikan rapor merah instansi yang belum menuntaskan PMM. Jika tidak bisa dikatakan semua, sebagian pihak memang menekan sekolah untuk segera menyelesaikan pembelajaran di PMM tanpa memberi solusi apapun.

Hal itu menyebabkan sekolah merespon dengan tindakan instans juga. “Pokoknya gimana caranya bisa centang hijau”, kata kepala sekolah kepada guru-guru. Sehingga yang terjadi adalah fenomena Bu Mirah dan Bu Lina selalu terulang. 

Kendala teknis berupa ketiadaan akses wifi, perangkat yang kurang support, atau kebutuhan paket data harusnya bisa diakomodir dengan optimalisasi bantuan operasional yang ada. Kendala akademik yang terkait pemahaman guru dalam pemanfaatan PMM dan penuntasan aksi nyatanya, seharusnya diantisipasi dengan maraknya sosialisasi dan bimbingan teknis, atau bahkan pendampingan intensif ke sekolah secara berkala. Sehingga penyakit instan yang menjangkiti guru makin lama makin membaik.