Potret Kesiapan Belajar Anak-anak Mappi, Papua
Oleh: Ratna Juwita
Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Tengah
“Kenapa ko pingsan?. Ko sudah sarapan?,” tanya Bu Bertha kepada siswanya yang pingsan. Ini bukan kali pertama siswa kelas Bu Bertha pingsan saat pembelajaran. Alasannya selalu sama, belum sarapan.
Anak-anak di Mappi, Papua tidak semuanya tinggal bersama orang tuanya. Anak-anak itu dikirim ke kota untuk bisa sekolah, sementara orang tua mereka tinggal di hutan untuk berburu dan mencari makanan. Sehingga, mereka tinggal di rumah saudara atau rumah singgah beratap daun sagu yang biasa disebut befak.
Jangan dibayangkan befak itu seperti kos yang hanya dihuni oleh satu atau dua orang saja. Befak dihuni oleh banyak anak tanpa pengawalan orang tua. Laki-laki dan perempuan campur. Minim fasilitas. Tidak ada listrik. Apalagi stok bahan makanan.
Kalau Thorndike melalui hukum kesiapan belajarnya mengatakan individuals learn best when they are physically, mentally, and emotionally ready, maka anak Mappi menghadapi tantangan besar. Bagaimana tidak?. Syarat pertama seseorang dapat belajar dengan baik adalah kesiapan fisik. Berbicara tentang kesiapan fisik, seseorang harus sehat, mendapat asupan makanan dan minuman yang dibutuhkan tubuh, dan badan yang bugar. Lalu Bagaimana dengan anak Mappi? Bagaimana dengan siswa Bu Bertha?
Siswa kelas Bu Bertha harus berjuang keras dalam memenuhi syarat pertama ini. Mengingat mereka tidak tinggal bersama orang tua mereka yang setiap pagi menyiapkan bekal sebelum berangkat sekolah. Alih-alih bekal, sarapanpun tidak ada. Mereka harus bekerja membantu penduduk di sekitar befak (seperti menyapu, mencuci piring, atau menjaga toko) untuk mendapatkan makanan.
Kesenjangan yang menganga antara anak Mappi dengan anak-anak pada umumnya. Sarapan sudah disiapkan, tinggal makan, itupun masih mengeluh. Lauknya tidak enak lah, minta disuapi lah, atau bahkan tidak disentuh karena tidak sedang selera makan. Hallooo…nggak malu sama anak Mappi?
“Kami biasa simpan biskuit di noken”, kata Bu Bertha. Noken adalah tas yang terbuat dari serat kulit kayu dan bahan alami lainnya. Sebenarnya noken biasa dipakai orang asli Papua untuk membawa babi, rusa, sayur, buah, atau hasil buruan lainnya. Namun saat ini, noken dilestarikan sebagai budaya Papua. Bentuknya macam-macam, begitu juga dengan ukurannya.
Bu Bertha biasa menyimpan biskuit di nokennya. Sehingga jika ada siswa di kelasnya yang belum sarapan, dia bisa dengan cepat mengeluarkannya. Bu Bertha membeli biskuit dengan uang pribadinya. Namun hal ini tidak biasa dia lakukan setiap hari, mengingat statusnya sebagai guru honorer di sekolah tersebut.
Mengajarkan materi kepada siswa yang tidak siap secara fisik, membutuhkan upaya yang lebih keras. “Saya harus mengulang-ulang dalam menjelaskan sebuah materi, karena siswa saya kesulitan mencernanya. Sekarang dijelaskan, beberapa menit kemudian sudah lupa.”
Ada anak yang duduk dengan tatapan kosong, berbaring di lantai, bahkan ada yang tidur, dan banyak lagi ekspresi ketidaksiapan siswa dalam belajar. Betapa Bu Bertha harus menguasai strategi pembelajaran yang sesuai dengan kesiapan belajar siswanya. Menyesuaikan pengelolaan kelas, penyampaian materi, dan juga evaluasi keberhasilan pembelajarannya.
Potret kelas Bu Bertha merupakan sebagian wajah pendidikan di bagian timur Indonesia. Tentunya hal ini menjadi pemicu kita untuk bekerja lebih baik karena tidak menghadapi kondisi seperti Bu Bertha. Jika Bu Bertha bisa menyiapkan biskuit untuk anak-anaknya yang belum sarapan, kita bisa apa?. Jika Bu Bertha bisa memberi gula-gula untuk anak-anaknya yang berhasil membaca 2 suku kata, kita bisa apa?. Yuk, kita bersyukur dengan apa yang ada dan bekerja lebih baik untuk generasi penerus bangsa.