×
Adaptasi Micro Learning Elektronik Untuk Meningkatkan Kompetensi Guru

Adaptasi Micro Learning Elektronik Untuk Meningkatkan Kompetensi Guru


Oleh: Lulud Prijambodo Ario Nugroho

Pengembang Teknologi Pembelajaran Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Tengah


Peningkatan kompetensi guru, merupakan Program mutlak yang harus dilakukan oleh kementerian. Karena guru adalah ujung tombak pewarisan budaya, karakter, dan teknologi bagi generasi mendatang. Tanpa guru kompeten, maka kemajuan bangsa akan terjadi secara “liar” karena kemajuan teknologi, tanpa pembiasaan karakter dan budaya baik suatu negeri akan mengembalikan kita ke jaman barbar.

Trend Peningkatan kompetensi guru saat ini dilakukan secara daring. Dukungan kementerian dalam hal ini sangat jelas, yaitu dibangun dan dibesarkannya Platform Merdeka  Mengajar. Akhir Semester tahun 2022 ini, seluruh guru didukung untuk meningkatkan kompetensinya secara mandiri. Kompetensi dan pengetahuan yang sebaiknya dikuasai oleh guru, sudah disusun dan diatur sedemikian rupa dengan menggunakan Platform Merdeka Mengajar. 

Walaupun demikian, jujur sampai saat ini masih banyak celotehan miring yang tertulis di medsos terkait dengan munculnya program pelatihan mandiri secara online ini. Bagi penulis, reaksi ini merupakan reaksi wajar. Karena setelah puluhan tahun pengembangan kompetensi guru dilakukan secara luring atau tatap muka. Kemarin saat Covid, maka kegiatan peningkatan kompetensi guru dilakukan secara daring karena situasi Darurat. Sekarang, Situasi sudah mulai “menormal”, tetiba pelatihan guru, kepala sekolah dilakukan secara Daring.

Beberapa program peningkatan kompetensi guru yang sudah meluncur, antara lain: 1) Pelatihan Pembatik (pembelajaran Berbasis TIK) yang sudah diluncurkan oleh kementerian sejak tahun 2017, dan masih berlangsung hingga saat ini; 2)pelatihan yang dilaksanakan oleh refo bekerja sama dengan dirjen GTK, yaitu GMT (googlemaster Trainer), pelatihan ini juga masih berjalan hingga saat ini; 3) pelatihan yang dilaksanakan oleh Microsoft, atau biasa dikenal sebagai MIT (Microsoft Inovation Trainer); 4) Program Guru Penggerak yang dilaksanakan oleh dirjen GTK, Sampai saat ini juga sedang merekrut peserta untuk Angkatan 8, 9 dan 10; dan yang terakhir 5) adalah diluncurkannya Platform Merdeka Mengajar (PMM).

PMM dilaksanakan seperti program sapujagat bagi bagi guru yang belum ikut program pelatihan daring manapun. Materi utama PMM adalah Kurikulum merdeka.  Materi dikemas sedemikian rupa, sehingga guru secara mandiri akan mampu mempelajari kurikulum merdeka dari filosofi sampai dengan mengimplementasikannya. Rancangan pembelajaran asinkrons telah disusun sedemikan rupa pada PMM, sehingga setelah guru tuntas menyelesaikan program pelatihan akan mendapatkan sertifikat. Dengan strategi ini tentu saja akan terjadi lompatan kompetensi para guru. Permasalahannya hanya satu, yaitu belum terbiasanya mayoritas guru untuk belajar secara mandiri, apalagi dengan moda belajar secara daring.

Salah satu strategi untuk mengakselerasi proses belajar guru secara mandiri itu adalah dengan mengadaptasi pembelajaran mikro. Pembelajaran mikro diadaptasi sebagai sarana pembelajaran elektronik bagi guru, sehingga guru mendapat teman berkolaborasi dalam upayanya memahami proses penerapan kurikulum merdeka secara mandiri. 

Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk membantu para guru tersebut dalam menuntaskan program pelatihan mandiri mereka dengan mengadaptasi proses belajar mikro secara daring. Manfaat langsungnya tentu saja, jika guru mengikuti prosedur yang dikembang melalui tuisan ini akan semakin mudah dalam menuntaskan proses pelatihan tersebut.


Pembahasan

Pembelajaran mikro bukan merupakan strategi belajar baru. Pembelajaran ikro merupakan strategi yang sering dipakai untuk meningkatkan kompetensi peserta didik. Pembeajaran dilakukan dan dilaksanakan dalam kelompok kelompok kecil. Tiap kelompok akan diberi satu fasilitator guna mendampingi peserta didik saat mereka berproses menguasai satu masalah tertentu. Dalam hal ini peserta didik dapat siapapun termasuk guru.

Pada awalnya pembelajaran micro dikenal dengan sebutan “micro teaching”. Menurut Ali Sadikin (2020) merupakan proses belajar peserta didik yang dirancang dengan sederhana. Akibatnya tiap bagian proses belajar dapat dikontrol dengan cermat, sehingga diperoleh ketuntasan maksimal. Pembelajaran ini biasa digunakan untuk menguatkan kompetensi guru atau calon guru supaya dapat menguasai satu keterampilan tertentu. 

Tetapi perkembangan saat ini, maka micro teacing ini beradaptasi mengikuti satu konsep konektivisme, dimana peserta didik dapat belajar dengan sumber belajar dan media belajar apapun. Akhirnya berkembanglah konsepnya menjadi sebuah pembelajaran yang digunakan  untuk menguasai satu obyek atau materi tertentu. Pembelajaran ini biasa dikenal dengan microlearning object (MLO). Adapun obyek ini biasanya disusun berdasarkan desain TPACK (Technology Paedagogical ContenKwonledge) atau selama ini lebih dikenal oleh pengembang dengan sebutan paedaogik materi subyek. Pada penerapan MLO, peserta didik belajar dalam kelompok kelompok kecil, kemudian proses pembelajaran mereka diamati dan dikendalikan secara penuh oleh pendidik, sehingga hasil belajarnya dapat dirasakan secara signifikan. Proses belajar saat itu dilaksanakan dengan menggunakan moda luring.

Pada tulisan ini, pembelajaran mikro diadaptasi dengan pembelajaran moda daring. Prosedur belajar diadaptasi dengan proses belajar daring. Pembelajaran mikro dikembangkan dengan mempertimbangkan luasan materi atau obyek belajar, waktu, jumlah peserta didik dan juga jumlah fasilitator (guru ataupun instrutktur) yang akan mendampingi proses belajar. Adapun perilaku belajar peserta didik juga dibangun sesuai dengan budaya dan karakter yang berlaku dengan budaya setempat. Langkah pertama pada penerapan pembelajaran mikro adalah membagi kelas menjadi kelompok belajar, dengan jumlah kecil. Pembagian kelompok, sampai saat ini memiliki emodel. Model dikembangkan bersumber dari dua teori, yaitu tabularasa dan konstruktivis. Meskipun demikian kedua model juga memiiki kesamaan pengembangan, yaitu menggunakan moda daring dan membentuk karakter atau sikap tertentu. Kesamaan kedua, bahwa keompok kedua model dibuat dengan mempertimbangkan ketersediaan jumlah pendamping.

Yang pertama, berdasar teori tabularasa. Pembagian berdasar teori ini, akan memperlakukan seluruh peserta memiliki keterampilan awal sama, sehingga akan dibagi tanpa mempertimbangkan keterampilan awal peserta. Pada gambar 1, disajikan secara sederhana bagaimana pembegian kelompok ini. Penggunaan strategi model 1, pada pelaksanaannya jelas sangat memudahkan penyelenggara, karena penyelenggara akan membagi rata seluruh peserta menjadi kelompok kecil begitu saja. Adapun materi yang harus dikuasai tiap kelompok sama, serta tiap kelompok ada satu pendamping ahli. Sebagian besar program pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran ini, karena lebih mudah. Adapun waktu belajar tiap kelompok disesuaikan dengan besaran materi yang harus dikuasai oleh tiap kelompok.

 

Gambar 1. Pembagian kelompok berdasarkan tabularasa

Beberapa program belajar dilaksanakan dengan menggunakan strategi ini. misalnya program guru penggerak. Peserta program guru penggerak di seluruh Indonesia, setelah diseleksi dan lolos, kemudian dibagi menjadi kelompok kelompok kecil. Sepengamatan penulis, tiap kelompok fasilitator akan dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, dimana tiap kelompok kecil ada satu pendamping ahli. Kemudian kelompok pelatihan GMT (google master trainer) juga demikian, akan tetapi pada pelatihan ini, satu pendamping akan mendampingi sekitar 50 orang, dan ternyata cukup efeltif juga, walau tingkat kelulusannya masih di bawah tingkat kelulusan program guru Penggerak (PGP) tetapi secara pembiayaan, model GMT jelas lebih ekonomis. Kemudian PPG dalam jabatan.

Yang kedua, pembagian dibagi berdasar teori konstruktivis.berdasar teori ini, kelompok akan dibagi berdasar kebutuhan belajar peserta didik. Penerapan strategi berdasar model kedua ini, tentu saja lebih ribet, karena pendidik harus mengetahui pengetahuan awal peserta didik, baru kemudian kelompok dibagi berdasarkan kebutuhan peningkatan kompetensi sesuai dengan peta kompetensi awal. Model kedua ini, sangat sesuai jika guru bermaksud untuk menggunakan model ini sebagai landasan pembelajaran berdiferensiasi ataupun membuat layanan konsultatif. Gambar 2, diharapkan dapat memberikan gambaran sederhana, bagaimana kelompok akan dibagi berdasarkan pemecahan materi ajar.

 

Gambar 2. Pembagian kelompok berdasarkan konstruktivis, kelompok dibagi dengan mempertimbangkan Topik konten yang harus dikuasai

Penjelasan sederhana model kedua adalah bahwa kelompok dibagi berdasarkan jumlah topik materi. Pada gambar dijelaskan bahwa materi besar terdiri dari M1 sampai dengan materi ke-n.

Biasanya, penyelenggara akan memilih strategi model kedua ini untuk kepentingan khusus, misal keperluan penyiapan tim lomba (olimpiade, ki Hajar, Pembelajaran berdiferensiasi, ataupun layanan konsultasi) dengan mengguanakan model ini maka peningkatan kompetensi peserta didik akan lebih terukur dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Apapun pilihan penyelenggara terhadap kedua model tersebut baik, karena pasti sudah disesuaikan dengan Batasan dan sumber daya yang tersedia. Adapun behavior dari kedua model tersebut juga dapat dibangun secara holistic, sehingga kendala dari kedua model dapat diminimalkan kemunculannya. Beberapa kesamaan behavior dari kedua model tersebut adalah perlunya daya juang yang tinggi dari setiap peserta, perlunya pemahaman pencapaian target secara berkolaborasi, walaupun demikian keterampilan internal tiap peserta didik untuk dapat mencapai target belajar sangat diperlukan. Nah bukankah perilaku yang dibangun sangat sejalan dengan karakter pelajar Pancasila?


Penutup

Penutup tulisan ini dilakukan dngan satu pertanyaan besar terkait program pelatihan mandiri yang sekarang sedang diusung oleh kementerian kita, yaitu “Bagaimana kah jika pembelajaran mikro ini diterapkan pada proses belajar mandiri guru melalui program PMM?”  Pelatihan mandiri pada platform merdeka mengajar, sebenarnya merupakan adopsi dari program guru penggerak. Meskipun demikian terdapat beberapa perbedaan, diantaranya disajikan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1. Perbedaan desain Pelatihan antara PGP dan PM 


Walaupun terdapat beberapa perbedaan selama proses pengembangan kedua sistem pelatihan elektronik, sebenarnya pelatihan mandiri pada PMM dapat dituntaskan dengan menggunakan strategi pembelajaran mikro. Penuntasan proses belajar mandiri adalah dengan membuat dan mengunggahaksi nyata PMM. Hal ini sama persis seperti penuntasan CGP pada program pelatihan mereka. Akan tetapi, penulis yakin bahwa guru pasti memiliki perbedaan pengetahuan, sehingga akan sangat cocok diterapkan model pembelajaran mikro dengan mengakomodir diferensiasi pengetahuan dan keterampilan guru. Atau boleh dikatakan model pembelajaran yang kedua.



Daftar Rujukan

Park, Yasung, & Kim, Y. (2018). A design and Development of micro-Learning Content in eLearning System. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 8(1), 56–61.

Park, Yeonjeong. (2011). A pedagogical framework for mobile learning: Categorizing educational applications of mobile technologies into four types. International Review of Research in Open and Distance Learning. https://doi.org/10.3394/0380-1330(2006)32

Prayitno,Harun Joko, dkk .2019. Desain & Pedoman Pembelajaran Mikro. Surakarta: Muhammadiyah Univercity Press.

Sadikin, Ali.2020. Pembelajaran Mikro. Jambi: Salim Media Indonesia

Sudarman, 2021. Microteaching Dasar Komunikasi Dan Keterampilan Mengajar. Malang: Wineka media