×
Dahsyatnya Praktik Sulap dalam Akreditasi Sekolah
Dahsyatnya Praktik Sulap dalam Akreditasi Sekolah

Oleh: Ratna Juwita

Widyaiswara Balai Besar Guru Penggerak Provinsi Jawa Tengah


Saya tidak tahu pasti kapan praktik sulap menjadi ritual wajib dalam akreditasi sekolah. Suatu saat, saya mendapati ibu saya pulang sore dari sekolah. Sesampainya di rumah, alih-alih istirahat, dia malah melanjutkan lagi untuk menyiapkan macam-macam berkas. 

“Kok sibuk banget sih, Bu?” kata saya. 

“Mau ada akreditasi, jadi banyak yang harus disiapkan,” jawab ibu saya sambil menata banyak berkas di map-map berlabel.

“Loh, ini kan daftar penilaian siswa. Bukan kah sudah seharusnya guru punya dokumen, Bu?. Tinggal nunjukin aja kan?” tanyaku penasaran.

Layaknya pesulap ulung, ibu saya menggunakan trik classic magic dengan menyulap

dokumen penilaian yang sebelumnya tidak ada, dalam semalam menjadi ada. Paginya, dokumen penilaian sudah siap diperiksa oleh asesor akreditasi sekolah. 

Akreditasi merupakan wajah sekolah. Tiap lima tahun sekolah harus mempersiapkan diri untuk memperbarui status akreditasinya. Bisa jadi naik, tetap, atau bisa juga turun. Apalagi sekolah baru, ia harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan status terakreditasi.

Saya jadi ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat saya menjadi guru honorer di salah satu sekolah. Menjelang akreditasi, ada pengiriman 1 set alat marching band lengkap ke sekolah saya. Saya heran, sekolah dapat uang dari mana kok bisa beli barang selengkap itu. Usut punya usut, alat tersebut milik sekolah tetangga yang dipinjam oleh sekolah saya.

Disadari atau tidak, akreditasi sekolah menjadi salah satu penyebab guru dan kepala sekolah mendalami ilmu sulap dalam waktu singkat. Banyak hal yang sebelumnya tidak ada, harus direkayasa keberadaannya demi kepentingan penilaian yang baik.

Masih segar dalam ingatan ketika Mas Menteri baru menjabat, alih-alih memberi pujian dunia Pendidikan, beliau malah mengeluarkan penyataan yang kontroversial. “Kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi, kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, dan akreditasi tidak menjamin mutu”.

So what?. Anda mau mengumpati sekolah?. Anda mau memberi label mereka jelek?. Atau Anda mau mengutuk tindakan mereka?.

Tunggu dulu. Sabar sodara-sodara. Tegak kopinya dulu.

Bukan tanpa alasan, sekolah melakukan praktik sulap karena fenomena akreditasi ini bagaikan cap yang selalu menempel pada wajah sekolah. Orang tua akan berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah yang akreditasinya bagus. Tidak usah jauh-jauh. Mas Marno tetangga saya yang tidak lulus SMA saja tahu. Di desa saya ada dua sekolah dasar, yang satu berakreditasi A dan satunya berakreditasi B. Mas Marno langsung mendaftarkan sekolah. Tak heran ketika sekolah akan berjuang mati-matian untuk mendapatkan predikat terakreditasi.

Praktik sulap ini makin marak ketika akreditasi menjadi salah satu syarat dalam Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pada PPDB 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 49 pengaduan (65,33 persen) dari warga DKI Jakarta tentang PPDB 2020 dari 75 pengaduan dari seluruh Indonesia sejak 27 Mei-28 Juni. 

Pengaduan tersebut terdiri dari 21,33% masalah teknis dan 78,67% masalah kebijakan yang berlaku. Salah satu kebijakan yang diadukan adalah adanya tambahan akreditasi sebagai syarat penerimaan siswa. Sehingga siswa yang berasal dari sekolah dengan akreditasi B, meski nilai belajarnya bagus, dia akan kalah bersaing dengan temannya yang memiliki nilai yang sama tapi berasal dari sekolah yang berakreditasi A. Pantas aja warga Jakarta ngamuk dan mengadu ke KPAI ketika anaknya yang nilainya bagus, ternyata ditolak di sekolah yang diinginkan.

Selain polemik syarat PPDB, teknik penilaian dan visitasi akreditasi juga menuai banyak kritik. Teknik penilaian banyak menitikberatkan pada kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi. Bener-bener paper based assessment. Sehingga kepala sekolah dan guru harus rela tidak tidur untuk menyelesaikan kelengkapan administrasi, mulai administrasi kelengkapan pembelajaran, dokumen kurikulum, dan dokumen pendukung pelaksanaan delapan standar pendidikan.

Metode single visitation oleh asesor juga menjadi titik rawan dari proses akreditasi. Asesor hanya melakukan sekali kunjungan ke sekolah untuk mengukur sekian banyak indikator penilaian. Jadi kalau sekolah menyulap ada seperangkat alat komputer atau satu set alat marchingband saat penilaian akreditasi, ya bisa saja. Asesor juga tidak akan tahu kalau semua barang itu adalah barang pinjaman. Karena asesor tidak melakukan kunjungan lanjutan untuk memastikan apakah semua indikator tersebut betul-betul secara konsisten dilakukan oleh sekolah atau tidak.

Menurut pedoman, akreditasi ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan sekolah berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Fungsinya juga jelas, yaitu sebagai pengetahuan atau informasi bagi semua pihak tentang level kelayakan sekolah terkait standar nasional pendidikan. Akreditasi juga sebagai bentuk akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban sekolah kepada publik bahwa layanan pendidikan yang dilakukan telah memenuhi harapan atau keinginan penerima layanan. 

Yang tak kalah penting, akreditasi sebenarnya juga berfungsi sebagai pembinaan dan pengembangan kepada sekolah. Melalui proses ini, sekolah menerima umpan balik berupa penilaian yang dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan atau memperbaiki capaian delapan standar nasional pendidikan. 

Tentunya sekolah cukup mengisi instrumen penilaian diri apa adanya, sehingga saat asesor datang, asesor mendapatkan penilaian yang otentik atas apa yang ada di sekolah. Dengan begitu, sekolah tidak harus repot-repot belajar sulap dengan mengadakan barang yang sebenarnya tidak ada. Karena dengan mengaku jujur apa adanya, sekolah mendapatkan feed back yang sesuai kenyataan dan tindaklanjut berupa pembinaan/bantuan dalam pengembangan sekolah.


Sumber gambar: Andrea Piacquadio: https://www.pexels.com/photo/pensive-female-worker-choosing-folder-with-documents-in-modern-office-3791185/