Seminar Pendidikan di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara
27 November 2021
Oleh: Drs. Yuli Cahyono, M.Pd
Widyaiswara Ahli Utama Muda
LPPKSPS Karanganyar-Jawa Tengah
Pembelajaran Berdiferensiasi akan terwujud kalau sumber belajar dan lingkungan belajar mendukung; peralatannya ada, media pembelajarannya ada, infrastrukturnya ada, dunia usaha dan industrinya ada…Jadi mari kita benahi sarana dan prasarana pendidikan di sekolah kita juga…sebab tanpa itu semuanya guru hanya bisa berceramah dan membagi tugas murid secara berkelompok supaya tampak adanya pembelajaran berdiferensiasi di sekolahnya (Yoel)
Makalah ini membahas salah satu elemen penting dalam pembinaan sekolah di era merdeka belajar, yakni kepemimpinan sekolah dan kepengawasan sekolah. Merdeka belajar adalah proses pendidikan dan pembelajaran di semua jenjang pendidikan yang mensejahterakan dan membahagiakan bagi semua peserta didik (students’ well being). Intinya, kepemimpinan sekolah dan kepengawasan sekolah yang sudah ada selama ini perlu disesuaikan pola pikir, model dan kerangka kerjanya agar bisa memfasilitasi, memenuhi, mendukung dan menumbuhkan pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan guru di kelas, di sekolah, di rumah dan di masyarakat. Makalah ini ditulis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya sebagai fasilitator Pendidikan Guru Penggerak (PPGP). Yang kemudian saya kembangkan lagi dengan beberapa temuan referensi terbaru terkait dengan Pembelajaran Berdiferensiasi. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dan pembinaan kepengawasan sekolah beradaptasi dengan nuansa baru dan prinsip prinsip pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan guru?
Pembelajaran Berdiferensiasi
Menurut Tomlinson (2001: 45), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Dalam setiap kali pembelajaran di kelas, guru menghadapi keberagaman murid dalam berbagai bentuk. Setiap murid memiliki kelebihan dan kekurangan, gaya belajar dan minat yang berbeda. Ada yang terampil menghitung, ada yang lebih suka tampil dan berbicara, dan ada juga murid yang suka berkegiatan kelompok. Ada yang kesulitan memahami bahan ajar sehingga masih perlu dibantu oleh guru atau murid yang lain untuk memahaminya. Dan berbagai bentuk keberagaman yang lain. Setiap guru selalu menghadapi tantangan seperti ini. Ada sebagian guru yang memberi perhatian terhadap keberbedaan murid dan lalu melakukan berbagai usaha penyesuaian untuk memastikan setiap murid terlayani kebutuhannya dengan nyaman dan bahagia. Namun ada juga sebagian guru yang secara sadar atau tidak sadar tidak merasakan keberbedaan murid ini dan bahkan beranggapan keberbedaan murid ini sebagai sesuatu yang tidak penting. Ini yang kita maknai sebagai pembelajaran berdiferensiasi (Kemdikbud: 2021)
Namun demikian, pembelajaran berdiferensiasi bukanlah berarti bahwa guru harus mengajar satu kelas yang berjumlah 30 murid itu dengan 30 cara yang berbeda untuk individunya. Lalu, bagaimana guru harus menyiapkan sebuah paket bahan ajar yang menantang tapi tidak membuat murid putus asa dan lalu menyerah. Untuk itu tentu guru harus memiliki kumpulan materi ajar yang a) bersifat mendasar: informasi yang jelas, sederhana dan tidak bertele-tele; dan juga materi b) yang bersifat transformatif: informasi yang rinci, detil dan mengandung banyak hal baru bagi murid. Ada kalanya juga diperlukan bahan ajar yang konkret misalnya replika sebuah obyek atau bahkan sebuah obyek nyata. Atau kartu bergambar, buku yang disukai murid, atau foto foto, poster dll yang banyak ditemukan di lingkungan hidup murid sehari hari. Ini disebut sebagai diferensiasi konten/isi.
Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti bahwa guru harus memperbanyak jumlah soal untuk murid yang lebih cepat mengerjakan tugas dibandingkan yang murid yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi dilakukan untuk memastikan murid bisa mencapai tujuan pembelajaran tanpa harus mengancam, memaksa, mengeluarkan murid dari kelas. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, kurikulum harus memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. Murid harus belajar tentang apa, dengan cara bagaimana, dalam kondisi seperti apa dan dengan ketercapaian hasil belajar seperti apa. Jadi bukan hanya guru saja yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga muridnya. Penilaian dalam pembelajaran berdiferensiasi dilakukan secara terus menerus di sepanjang waktu belajar untuk mengamati sejauhmana perkembangan kemajuan belajar murid. Ketika murid sudah tampak menguasai isi kurikulum dengan baik, inilah saat yang tepat bagi guru untuk memberikan penilaian. Pembelajaran berdiferensiasi lebih mementingkan proses dari pada hasil. Ini disebut sebagai diferensiasi proses.
Pembelajaran berdiferensiasi juga bukan berarti guru harus mengelompokkan murid yang pintar dengan murid lain yang pintar dan murid yang kurang dengan murid lain yang kurang. Bukan pula memberikan tugas yang berbeda untuk setiap anak. Pembelajaran berdiferensiasi bukanlah sebuah proses pembelajaran yang semrawut (chaostic), yang gurunya kemudian harus membuat lebih dari satu perencanaan pembelajaran (RPP) untuk membantu setiap murid belajar dalam waktu yang bersamaan. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru memerdekakan murid, membebaskan murid dan memberikan kesempatan seluas luasnya bagi murid untuk kembali ke kodrat alamnya, menjadi dirinya sendiri dengan gaya belajar, minat, perhatian dan kecerdasannya masing-masing. Dalam cara berbicara guru, dalam setiap kali bersinggungan dengan ranah kodrati murid, dalam membebaskan murid mengembangkan jalan pikirannya sendiri, guru memperlakukan murid dengan cara yang sama sebagai seorang manusia dewasa. Tetapi guru tidak pasif, tidak agresif, batasan diperlukan ketika dibutuhkan. Guru tampil dengan cara yang asertif dan penuh rasa hormat. Ini yang disebut sebagai diferensiasi produk.
Salah satu hal penting dalam pembelajaran berdiferensiasi adalah bagaimana guru menyajikan materi dari yang bersifat sederhana sampai ke yang lebih kompleks, di setiap keterampilan juga seperti itu. Bahkan guru juga bisa menerapkan prinsip yang sama dalam mengajar untuk dilakukan murid di rumah. Guru men-scaffold keterampilan berdasarkan kompetensi dan kedewasaan murid. Keterampilan akan semakin sulit atau perlu beberapa langkah atau bahkan harus melalui banyak langkah-langkah dalam sebuah petunjuk penugasan. Misalnya dalam hal bersepatu. Pertama, tunjukan bagaimana memasukan kaki di sepatu. Kedua, tunjukan bagaimana menarik tali sepatu. Kemudian, tunjukan bagaimana mengikat tali sepatu dengan erat. Baru kemudian, kita meminta murid memakai sepatunya sendiri. Ini yang disebut sebagai scaffolding.
Untuk bisa melakukan penyesuain-penyesuaian terhadap konten/isi, proses dan produk maka guru harus melakukan pemetaan awal terhadap kondisi murid. Pemetaan itu mencakup 1) kesiapan; 2) minat murid; 3) profil murid dan 4) lingkungan belajar murid. Kesiapan mencakup pengetahuan dan kondisi awal murid sebelum pembelajaran dilaksanakan, misalnya murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat mendasar dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat transformatif? murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat konkret dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat abstrak? murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat sederhana dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat kompleks? murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat terstruktur dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat open ended? murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat terbimbing dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat mandiri? murid yang mana yang masih membutuhkan informasi yang bersifat cepat dan murid yang mana yang sudah relatif siap sehingga bisa diberikan informasi yang bersifat lambat? Pemetaan kesiapan murid merupakan langkah awal seorang guru melakukan pembelajaran berdiferensiasi.
Minat murid mencakup seni, literatur, teknologi, olahraga, sains, matematika, sejarah, sosial, jurnalistik, politik/pemerintahan, bisnis, musik, teater, budaya, pariwisata, rekreasi, kerajinan dsb. Moda ekspresinya antara lain lisan, tulisan, ranang bangun, artistik, abstrak, layanan masyarakat. Area minat ini bisa digunakan guru untuk menata penugasan bagi murid sehingga murid tertarik dan merasa senang belajar. Bagi murid yang senang menggunakan teknologi baru misalnya bisa membuat sebuah simpulan hasil belajar dengan menggunakan berbagai aplikasi baru, menulis artikel di blog atau membuat video-blog dan lalu mengunggahnya di internet. Bagi murid yang senang bermain musik, mereka bisa menciptakan sebuah karya lagu atau komposisi yang relevan dengan pengetahuan yang sudah mereka kuasai dari pembelajaran guru di kelas. Pembelajaran berdiferensiasi menghormati minat murid dan mendukung perkembangannya per individu.
Profil belajar mencakup gaya, lingkungan, budaya, kecerdasan majemuk dan preferensi lain. Gaya belajar atau learning modalities bisa visual (V), auditory (A), kinestetik (K) atau kombinasi diantaranya, yakni VAK-VKA-KAV-KVA-AVK-AKV ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan belajar seseorang (Dawna Markova and Angie Mac Arthur: 2015). Itulah makanya ada murid yang hanya dengan mengobservasi sekali saja sudah ngerti; tetapi ada juga murid yang harus berulang ulang kali baru mengerti setelahnya. Terkait dengan kecerdasan majemuk, Howard Gardner dalam Terry Roberts menjelaskan, mencakup bahasa, musik, logika matematika, spasial, bodi kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensialis (Terry Roberts, 2019).
Satu hal lagi yang juga sangat penting untuk dipetakan oleh guru adalah lingkungan belajar murid. Bagaimana guru menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan pembelajaran. Juga guru memastikan setiap murid tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka. Lingkungan belajar mencakup a) di kelas; 2) di sekolah; 3) di rumah dan 4) di lingkungan masyarakat. Lingkungan belajar yang baik membantu murid untuk mandiri, bergerak dengan aktif, berkomunikasi dengan baik, dan tumbuh berkembang dalam berbagai area pengembangan kompetensi dan kematangan diri. Lingkungan belajar dan murid saling tarik menarik. Lingkungan menarik bagi murid dan murid belajar dari sumber belajar yang ada di lingkungan sekitarnya. Guru dan lingkungan juga saling mempengaruhi satu sama lain. Guru menyiapkan lingkungan belajar, mengobservasi pembelajaran murid dan membuat penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan untuk bisa memenuhi kebutuhan murid (Simone Davies: 2019).
Bagaimana sebenarnya gambaran pembelajaran berdiferensiasi di sekolah? Mari kita membayangkan bersama. Bagaimana seandainya guru dan murid duduk bersama untuk membahas tugas berselancar secara virtual ke Museum Gajah. Lalu guru menjelaskan apa yang akan mereka pelajari hari ini. Lalu guru meminta murid secara mandiri untuk menentukan langkah apa yang akan mereka lakukan untuk mengumpulkan dan mendapatkan informasi tersebut dari berbagai sumber baik berupa teks maupun non teks dari internet. Kemudian setiap murid melaporkan rencananya masing-masing. Guru memberi umpan balik dan rekomendasi bilamana ditemukan ketidakjelasan arah dan tujuan yang ingin dicapai murid. Lalu murid berlatih menggunakan berbagai fasilitas yang ada di handphone mereka sendiri (self directed learning). Murid ditugaskan untuk menjalankan rencananya masing-masing (outonomy). Jika tidak ada yang membahayakan atau upaya yang dilakukan murid masih relevan dengan tujuan capaian pembelajaran, maka guru tidak perlu berceramah dan lebih baik diam mengobservasi dalam kesunyian-silent moment- dengan membebaskan murid melakukan eksplorasi, discovery dan inkuiri tentang apa saja yang mereka ingin pelajari. Kemudian setelah semuanya selesei, lalu mereka duduk bersama kembali untuk menceritakan pengalaman belajar mereka masing-masing. Praktik baik dan praktik buruk dari rencana yang mereka sudah laksanakan. Lalu secara sadar murid diminta untuk memberikan kesimpulan bagaimana sebaiknya agar semuanya menjadi lebih baik lagi (relatedness). Pengalaman belajar seperti ini adalah sebuah proses otomasi, antara permisif dan autokrasif/direktif, bebas tetapi bertanggungjawab. Pengalaman belajar seperti ini tingkat keberhasilannya sekitar 70%.
Pengalaman belajar yang terjadi pada murid bukan hanya sekedar membaca dan menyimak, bukan hanya sekedar menghafal kata dan mengingat (semantic memory), dan bukan hanya sekedar praktik menggunakan peralatan tertentu. Murid bisa saja mengakses Play store untuk mendapatkan aplikasi baru sehingga menemukan cara baru untuk berkunjung secara virtual dengan nyaman ke Museum Gajah (discovery dan inquiri), misalnya dengan menggunakan Google Map. Murid yang cepat belajar dijadikan satu kelompok dengan murid yang tidak begitu cepat belajarnya sehingga mereka yang belum bisa bisa mengamati bagaimana teman yang yang sudah bisa berpikir dan memahami pengetahuan baru. Demikian juga sebaliknya mereka yang pemahamannya cepat punya waktu untuk mengkonsolidasikan pemahamannnya kembali. Pendidikan Sistem Among (PSA) memang bagian yang tak terpisahkan dari pembelajaran berdiferensiasi. Setiap murid berbeda keunikannya, tetapi semua murid juga sama dalam hal belajar, yakni tanpa guruku pun semua manusia bisa belajar dengan sendirinya (Unconscious Absorbent mind) (Kemdikbud: 2021).
Kemampuan guru untuk memberikan umpan balik sangat ditentukan oleh kemampuannya mengobservasi belajar murid satu per satu. Guru perlu berlatih dan membiasakan diri mengobservasi setiap murid tanpa ada niat untuk menganalisis, menyimpulkan, membiaskan maupun memprasangka murid dan situasi. Mengobaservasi hanya apa yang dilihat dan didengar saja, pergerakan, bahasa, postur, dan aksi-aksi yang dilakukan murid. Ini akan membuat guru menemukan sampai dimana murid sekarang berada, apa yang sedang mereka pelajari, perubahan perkembangannya ada atau tidak, dan pada saat batasan dilanggar murid lalu bantuan apa yang bisa diberikan guru kepada murid sebelum berlanjut ke tahap belajar selanjutnya (Simone Davies: 2019).
Perubahan dalam pola pembelajaran dari pola pembelajaran berbasis isi (content) dengan metode paling konvensionalnya adalah ceramah, berubah ke pola pembelajaran berbasis konteks (context) dengan metode paling up to date-nya berbasis pendekatan ilmiah dan berpikir tingkat tinggi (HOTs), antara lain dengan Inquiri Based learning, Problem Based Learning, Project Based Learning, dan Design Thinking. Ceramah dari seorang guru yang berbuih-buih dan selalu ditutup dengan tes untuk menguji pengetahuan dan pemahaman murid, akan berubah menjadi pembelajaran konkret (concrete learning) berisikan penugasan murid melakukan percobaan atau pekerjaan yang nyata dalam kehidupan dan dalam pekerjaan (real world and real work) dan lalu diakhiri dengan sebuah unjuk kerja/karya murid untuk merayakan keberhasilan yang penuh perjuangan. Ketika murid sudah kasmaran dan keasyikan dengan belajarnya (sensitive moment) maka pengalaman belajar yang bermakna itu terjadi. Pengalaman belajar seperti ini menjadi sebuah pengalaman belajar yang mengesankan dan tak terlupakan bagi seorang murid (episodic memory). Murid bisa berpikir dan merasakan sendiri dan membuat rencananya sendiri yang mungkin gurunya sendiri tidak pernah mengalaminya (Heutagogy). Jadi bukan “Do what the teachers do….” tetapi “Do what the teachers say….” (Hase and Kenyon: 2000). Maka sekarang guru perlu dibantu untuk mengubah materi bahan ajar mereka yang berbasis buku teks, kertas kerja menjadi berbagai bentuk resources berupa bahan ajar yang bisa diraba (hands-on and tactile material), audio-video recording dan akses internet, dsb.
Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah
Salah satu kelemahan kita, yang mungkin saja terjadi, untuk mewujudkan pembelajaran berdiferensiasi, berasal dari kepemimpinan kepala sekolah sendiri yang bisa jadi kesulitan menjalankan perannya sebagai kepala sekolah di era keterampilan Abad 21, yakni keterampilan memecahkan masalah (problem solving), menganalisis proses (process analysis), berpikir sistem, (design system thinking), dan mengelola hubungan sosial (sosial management) (World Economy Forum-Analisa Kearney) (Kemdikbud, 2020). Kepala sekolah yang tidak mampu mengembangkan pengelolaan manajerial sekolahnya secara mandiri. Bisa juga, kepala sekolah yang tidak tahu bagaimana menjaga mutu pembelajaran berdiferensiasi di sekolah. Dalam urusan kepemimpinan kepala sekolah harus lebih bijaksana.
Pertama, “To pull”, atau menarik, artinya kepala sekolah berkewajiban untuk menyediakan sumber belajar dan lingkungan belajar baru yang menarik bagi murid, guru dan orang tua. Pendekatan ini bisa diterapkan oleh sekolah jika murid, guru dan orang tua sudah punya kepedulian terhadap masalah pembelajaran berdiferensiasi sehingga peran dan fungsi kepala sekolah lebih dimaksimalkan sebagai learning resources provider. Sekolah bekerja sama dengan guru, komite sekolah, orang tua dan dinas pendidikan kab/kota/provinsi/pusat/yayasan dalam hal penyediaan sumber belajar dan lingkungan belajar baru yang dipandang penting dan dibutuhkan bagi murid. Learning Resources provider adalah masalah manajerial sekolah. Sering disebut sebagai performance support karena berpengaruh besar terhadap kinerja sekolah atau kinerja guru. Misalnya ketika guru memerlukan akses internet untuk pembelajaran murid yang direncanakan akan menggunakan YouTube. Untuk murid di kelas jenjang SMA dan SMK, belajar dengan menggunakan YouTube, pembelajaran terasa menjadi lebih menarik, lebih banyak yang bisa didapatkan, baik oleh murid yang visual, auditory maupun yang kinestetik. Sehingga murid terangsang untuk ingin tahu lebih mendalam dan lebih meluas. Dibandingkan jika pembelajaran hanya menggunakan teks, berupa bahan bacaan saja. Pembelajaran menjadi kurang begitu menarik bagi murid yang auditory dan kinestetik. Dengan pendekatan “To pull”, kinerja sekolah meningkat karena pengelolaan manajerial sekolah bekerja secara efektif memenuhi kebutuhan sumber belajar dan lingkungan belajar baru yang dibutuhkan guru dan murid. Peran kepala sekolah sebagai manajer sekolah memastikan pengadaan sarana dan prasarana baru sebagai sumber belajar dan lingkungan belajar baru bagi guru dan murid.
Kedua, “To push”, atau mendorong, artinya kepala sekolah mendorong guru dan orang tua untuk mendesain pengalaman belajar yang bermakna bagi murid. Pendekatan ini bisa diterapkan oleh kepala sekolah jika guru dan orang tua belum mempunyai kepedulian terhadap masalah pembelajaran berdiferensiasi. Sehingga peran dan fungsi sekolah dimaksimalkan sebagai learning experience designer. Pembelajaran murid dirancang sedemikian rupa agar kegiatan pembelajaran bervariasi. Kegiatan pembelajaran bisa berupa simulasi, role play, game, action video replay, flipped classroom, dan sebagainya (Nick Shackleton Jones, 2019). Untuk jenjang pendidikan TK/PAUD, SD dan SMP memang sebaiknya variasi kegiatan pembelajaran lebih ditekankan pada keragaman strategi dan interaksi belajar di kelas untuk penguasaan kompetensi dan pematangan pengembangan diri murid. Dengan keragaman strategi dan interaksi belajar di kelas, maka pengalaman belajar murid semakin bermakna dan bervariasi. Murid merasa bahagia dan senang dalam belajar di kelas bersama dengan teman temannya di sekolah. Sehingga hasil pembelajaran murid pun maksimal. Hasil pembelajaran murid yang maksimal menunjukkan kinerja guru juga meningkat menjadi semakin baik. Peran kepala sekolah diperlukan untuk memastikan bahwa semua perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran guru dilakukan untuk keberhasilan dan kenyamanan belajar murid, orang tua dan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan di sekolah.
Peran Kepengawasan Sekolah
Pertama, untuk menciptakan lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar, tentu tidak bisa hanya dilakukan oleh guru. Untuk menciptakan lingkungan belajar seperti itu diperlukan dukungan dari rekan guru yang lain, kepala sekolah, pengawas sekolah pembina, dinas pendidikan kab/kota/provinsi dan tentu pemerintah pusat. Hal ini karena dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang baik yang bisa mengundang murid belajar membutuhkan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan secara terus menerus dan berkelanjutan. Walaupun tidak semuanya harus berbiaya mahal. Bisa saja sarana dan prasarana belajar murid itu dikembangkan dari apa yang ada di alam dan dari lingkungan sekitar sekolah. Tapi tentu untuk itu dibutuhkan sebuah perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan murid dan guru, dan juga dibutuhkan sinkronisasi dengan kebutuhan pembiayaan layanan pendidikan yang lain di sekolah, demikian juga di dinas pendidikan kab/kota/provinsi. Tidak ada pengadaan sarana dan prasarana sumber belajar dan lingkungan belajar baru yang mengundang murid untuk belajar sama sekali untuk pembelajaran berdiferensiasi, tentu tidak mungkin berharap hasilnya akan maksimal (Kemdikbud. 2015).
Kedua, pembelajaran berdiferensiasi menekankan pada proses daripada hasil. Murid belajar didorong oleh kebutuhan intrinsik, yakni penyempurnaan peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Dan itu adalah sebuah Heutagogy yakni, salah satu pendekatan kunci dalam pendidikan untuk melahirkan manusia yang kreatif dan inovatif (Terry Roberts, 2019). Pengawas sekolah perlu bersikap dan berpikir esensial. Selama apa yang dilakukan oleh guru di sekolah itu penting, berguna dan relevan dengan kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan murid menjadi manusia seutuhnya, semua itu masih baik-baik saja. Ini jaman 4 C yang penuh dengan eksperimentasi, maka pikirkan kembali kalau pengawas sekolah mau menyalahkan sekolah atas terjadinya kesalahan dalam pengembangan pembelajaran berdiferensiasi di sekolah. Sebab bisa jadi mereka sedang berusaha menciptakan sesuatu yang berbeda terhadap kebiasaan dan budaya yang ada di masa sekarang ini.
Ketiga, pengawas sekolah dapat melibatkan diri dalam berbagai bentuk kegiatan yang terkait dengan implementasi pembelajaran berdiferensiasi dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan sekolah, antara lain: 1) In House Training (IHT) untuk sesuatu yang umum terkait dengan kompetensi guru dalam pembelajaran berdiferensiasi; 2) bimbingan teknis (bimtek) untuk sesuatu yang khusus terkait dengan keterampilan tertentu yang harus dikuasai guru terkait pembelajaran berdiferensiasi, 3) pendampingan guru untuk sesuatu yang khusus terkait dengan penerapan metode/teknik tertentu terkait pembelajaran berdiferensiasi, 3) workshop untuk sesuatu yang khusus terkait dengan persiapan, penguatan, dan refleksi pelaksanaan kegiatan terkait pembelajaran berdiferensiasi; 4) Focus Group Discussion (FGD) untuk sesuatu yang sangat khusus terkait dengan terjadinya kesalahan, kelemahan, ketidak-optimalan penerapan terkait pembelajaran berdiferensiasi; dan 5) pemantauan, monitoring dan evaluasi secara tatap muka langsung atapun virtual pelaksanaan pembelajaran terkait pembelajaran berdiferensiasi; dan 6) supervisi akademik dan manajerial melalui coaching untuk pembudayaan pembelajaran berdiferensiasi di sekolah (Kemdikbud. 2015).
Terakhir, salah satu hal yang berbeda ketika pembelajaran berdiferensiasi dilakukan di sekolah adalah berubahnya orientasi mutu sekolah yang biasanya berdasarkan akuntabilitas sekolah (school accountability) menjadi berdasarkan tanggungjawab sekolah (school responsibility). Selama manajemen sekolah masih belum mandiri, dengan ide-ide yang membumbung tinggi, maka kreatifitas dan inovasi tidak akan pernah tampak di sekolah-sekolah (Timothy D. Walker, 2017). Maka pengawas sekolah perlu lebih sering 1) mengobservasi pembelajaran berdiferensiasi yang dilakukan guru di kelas; 2) mensupervisi pembelajaran berdiferensiasi di setiap sekolah, 3) bertanya pada murid bagaimana perkembangan kemajuan belajarnya dan perasaan mereka selama proses pembelajaran berdiferensiasi diterapkan di sekolah; 4) bertanya pada orang tua murid tentang dampak penerapan pembelajaran berdiferensiasi terhadap kemauan dan kemajuan perkembangan capaian hasil belajar anaknya; dan 5) memberikan dukungan, rekomendasi kebijakan kepada kepala dinas pendidikan kab/kota/provinsi masing-masing terkait pengembangan sumber belajar dan lingkungan belajar baru di setiap sekolah yang menjadi binaannya.
Kesimpulan dan Penutup
Sebagai penutup, saya mengajak kepala sekolah dan pengawas sekolah di semua jenjang pendidikan untuk menjembatani dan memfasilitasi kebutuhan dan kepentingan sekolah, khususnya guru dalam peningkatan kualitas pembelajaran berdiferensiasi dengan segala kesulitan, tantangan dan hambatannya. Karena hanya dengan bantuan fasilitasi dari kepala sekolah pengawas sekolah dan para pemangku kepentingan di sekolah, maka guru akan bisa menjadikan murid sebagai manusia yang bertanggungjawab dengan pembelajaran berdiferensiasi yang penuh cinta kasih, sabar, disiplin positif dan penuh dukungan bagi murid.
Kebijakan
- Kemdikbud. 2021. Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP). Direktorat Jenderal GTK, Kemdikbud, Jakarta
- Kemdikbud. 2020. Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Kemdikbud, Jakarta
- Kemdikbud. 2017. Panduan Implementasi Kecakapan Abad 21 Kurikulum 2013 di SMA. Kemdikbud, Jakarta
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah
- Kemdikbud. 2015. Buku Kerja Pengawas Sekolah. BPSDMP, Kemdikbud, Jakarta
- Kemdikbud. 2015. Buku Kerja Kepala Sekolah. BPSDMP, Kemdikbud, Jakarta
Referensi
- Dawna Markova and Angie Ma Arthur, 2015, Collaborative Intelligence, Spiegel & Grau, Penguin Random House LLC, New York
- Hase, S. and Kenyon. 2000. From Andragogy to Heutagogy. Online
- Nick Shackleton Jones, 2019, How People Learn: Designing Education and Training That Works to Improve Performance, Kogan Page Limited, 2nd Floor, 45 Gae Street, London EC1V 3RS United Kingdom
- Simone Davies, 2019, The Montessori Toddler, Workman Publising Co., Inc, 225 Varick Street, New York, NY 10014-4381
- Timothy D. Walker, 2017, Teach Like Finland: 33 Simple Strategies For Joyful Classrooms, W.W. Norton & Company, Inc., 500 Fifth Avenue, New York, NY 10110 USA
- Terry Roberts, 2019, The New Smart, Turner Publishing Company, Nashville, Tennessee USA