×
Strategi Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan Sistem Otak Utuh

Strategi Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) dengan Sistem Otak Utuh


Oleh: Drs. Yuli Cahyono, M.Pd

Widyaiswara Ahli Madya, Pembina Utama Muda

Kemdikbud, LPPKSPS, Karanganyar-Jawa Tengah


Di artikel ini, kita membahas salah satu bagian penting yang lain dalam upaya mewujudkan Merdeka Belajar di sekolah, yakni Pembelajaran Sosial Emosional (PSE). Mengapa PSE menjadi begitu penting sekarang ini, karena PSE sangat dekat sekali dengan murid yang sejahtera dan bahagia (student wellbeing). Murid yang sejahtera dan bahagia menjadi penanda adanya dampak keberhasilan pembelajaran guru di kelas dan di sekolah. Seberapa tinggi tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan yang dirasakan murid terhadap pelayanan pendidikan dan pengajaran di sekolah menjadi kunci keberhasilan pendidikan kita saat ini. Namun kita membahasnya dari sisi Sistem Otak Utuh (Daniel J. Siegel dan Tyna Payne Bryson: 2012). Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana strategi Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) bisa dijelaskan dengan Sistem Otak Utuh. Artikel ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan ini.


Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah sebuah pendekatan   dalam pengelolaan proses pembelajaran di sekolah yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses pembelajaran PSE memungkinkan murid (di semua jenjang, tingkat dan kelas) dan orang dewasa (kepala sekolah, guru dan tendik) yang ada di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dalam berbagai sikap sosial dan emosional secara positif.  PSE adalah proses mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional sebagai modal anak dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar (CASEL: 2012).


Bagaimana itu bisa dijelaskan? Kita mengetahui otak manusia terdiri dua bagian, yakni otak kanan (right hemisphere) dan otak kiri (left hemisphere). Belahan otak kiri yang menghendaki keteraturan, yakni menentukan logika, literal, linguistic dan linier (menempatkan segala sesuatu dalam keteraturan, urutan, tekstual dan detil). Otak kiri terkait dengan huruf L (logical, Literal, Linguistis, Linier). Sedangkan otak kanan menghendaki gambaran besar, emosi-non logical, non verbal, pengalaman dan kenangan pribadi. Lalu, bayangkan kita berada di sebuah perahu di sebuah sungai yang berarus. Sisi kiri sungai adalah sisi logika dan sisi kanan sungai adalah sisi emosi. Dan kita berperahu di tengah arus sungai yang kadang bergerak ke kiri ke arah sisi logika sehingga segalanya menjadi sangat kaku dan penuh dengan aturan. Lalu tiba tiba perahu kita bergerak ke kanan sehingga segalanya menjadi sangat emosional penuh dengan rasa marah dan takut. Pembelajaran sosial emosional mendidik murid mampu mengendalikan perahu dengan stabil sehingga setiap saat murid selalu dalam kondisi sadar, mampu berpikir logis dan dalam kondisi emosi yang terkendali. Murid yang kemudian tampak dari sisi orang lain sebagai seseorang yang tenang, kalem dingin, damai, dan bahagia dalam situasi apapun. Sama tenangnya baik dalam situasi penuh kemarahan maupun dalam situasi penuh kebahagian.


Bagaimana strategi pembelajarannya? Cara menerapkannya ada 4, yakni dengan 1) Mengajarkan Kompetensi Sosial Emosional (KSE)  secara spesifik dan eksplisit; 2) Mengintegrasikan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) ke dalam praktik mengajar guru dan gaya interaksi dengan murid; 3) Mengubah kebijakan dan ekspektasi sekolah terhadap murid; dan 4) Mempengaruhi pola pikir murid tentang persepsi diri, orang lain dan lingkungan. Seperti apa itu akan dilakukan oleh guru, tendik dan kepala sekolah di sekolah? (PGP Angkatan 3: 2021). Pada contoh kali ini kita hanya memberikan gambaran untuk cara yang ke-3 yakni: Mengintegrasikan Kompetensi Sosial Emosional (KSE) ke dalam praktik mengajar guru dan gaya interaksi dengan murid.


Selfia berumur 7 tahun, murid kelas bawah di sebuah sekolah dasar, tampak murung wajahnya. Di kelas dia duduk menyendiri dan tampak malas dan tidak bergairah mengikuti pelajaran hari itu. Melihat muridnya seperti ini kondisinya, Bu Guru Anita mendekati Selfia dan bertanya: “Ada apa denganmu, nak? Coba kamu cerita pada Ibu”. Selfia menjawab dan itu membuat Bu Anita terkejut: Mama nggak peduli dengan ulang tahunku. Aku nggak mau mengerjakan PR-ku hari ini. Bu Anita menarik tangan Selfia, mengelus punggungnya dan dengan suara kalem bertutur mendidik: “Kadang sekolah terasa memberatkan ya, nak?. Yakinlah, mamamu tidak akan pernah melupakanmu. Kamu selalu di hati mereka. Dan kamu pasti sangat spesial bagi mamamu. Ayo Ibu bantu kamu mengerjakan PR-mu.


Kalimat bertutur seperti ini menenangkan dan membuat Selfia rileks dan kalem. Dia merasa didengarkan dan dipedulikan. Suasana seperti ini akan membuat Selfia lebih mau menerima untuk sebuah penyeleseian masalah dan rencana selanjutnya. Memang tampak seperti sebuah drama, tetapi tindakan Bu Anita bertutur mendidik membuka pintu keterhubungan dengan otak kanan Selfia. Dengan mengkoneksikan otak kanan Bu Anita dengan otak kanan Selfia, maka pintu kerjasama dan komunikasi apa yang dirasakan oleh Selfia menjadi terbuka. Ini sebuah pendekatan yang efektif. Anak kecil usia 7 tahunan berada di seputar otak kanan, karena mereka belum memiliki kemampuan melogika, dan belum bisa mengungkapkan perasaan dengan kata kata, serta belum merasa punya tanggung jawab, dan waktu hidupnya hanya pada saat ini saja. Selfia bukan hanya menemukan kebutuhan koneksinya, tetapi juga membantunya mengalihkan ke hal lain yang lebih positif, yakni PR yang belum dikerjakan. Strategi yang diterapkan Bu Anita ini disebut Menghubungkan dan Mengalihkan (To connect and to Redirect).


Pada kesempatan lain untuk membangkitkan kesadaran diri murid juga bisa dilakukan dengan meminta murid untuk bercerita pengalaman mereka dalam bekerja secara kelompok apa yang mereka rasakan, apa yang mereka lakukan dan alami dan apa yang mereka harapkan selama pembelajaran berlangsung (story telling). Teknik ini bisa lebih efektif dilakukan karena dengan bercerita maka murid mengubah dari pengetahuan dan pemahaman berupa implisit memori yang ada di alam bawah sadar mereka menjadi pengetahuan dan pemahaman yang terkatakan berupa eksplisit memori yang ada dalam kesadaran diri mereka saat ini dan saat sekarang. Dengan kesadaran diri HERE and NOW maka kesadaran diri murid ada dalam posisi stabil dan ini membantu murid merasa nyaman aman dan bahagia di saat belajar sehingga memudahkan murid memahami pembelajaran. Emosi murid juga terkendali karena pikiran logisnya bekerja dengan baik mengarahkan fokus pikiran dalam satu orientasi berpikir yang jelas.


Dari dua penjelasan tersebut bisa kita simpulkan bahwa strategi kita dalam menerapkan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) sangat berkaitan erat dengan sistem otak utuh manusia. Penjelasan-penjelasan di atas memungkinkan guru untuk mereduplikasi cara cara baru dalam mendidik dan menuntun perkembangan murid sesuai dengan umur dan dengan mengintegrasikan antara otak kiri dan otak kanan murid sehingga kestabilan emosi dan logika murid terjaga dengan baik. Dengan PSE guru tetap memperhatikan kebutuhan murid akan perhatian, kepedulian, kasih sayang dan kebahagiaan.


Referensi:

- Daniel J.Siegel, Tyna Payne Bryson. 2012. The Whole Brain Child. Bantam Books Trade Paperbacks, New York

- Kemdikbud, 2020. Modul I Program Guru Penggerak (PGP), Kemdikbud, Jakarta.

- CASEL. https://casel.org/what-is-sel/approaches/